Pages

SL

Minggu, 17 Februari 2013

Ivan Gunawan

Ivan Gunawan


Keberhasilan desainer dan penghibur ini sedikit banyak ditempa pengalaman hidupnya di luar negeri. Berikut perjalanan hidup Ivan Gunawan hingga bisa seperti sekarang ini. Ivan Gunawan lahir di penghujung tahun, tepatnya di Jakarta pada 31 Desember 1981. Unik ya, karena di tanggal itu orang sedang ramai-ramainya menunggu pergantian tahun. Ivan Gunawan (selanjutnya ditulis aku) adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Tak hanya aku, kedua kakakku, Eman Sadiani dan Indra Gunawan memang ketururunan bongsor, montok-montok. Penyebabnya sudah jelas, karena kedua orangtuaku, Bambang Cahyo Gunawan dan Erna Gunawan berperawakan tinggi besar. Oleh orangtuaku aku diberi nama lengkap Ivan Gunawan Putra. Akan tetapi, entah kenapa, sejak kecil aku enggak suka ada Putra di nama panjangku. Aku merasa cukup dipanggil Ivan Gunawan. Maka dari itu, untuk urusan surat-surat penting hingga KTP, aku enggak pakai tuh, kata Putra. Orangtuaku sih, enggak marah dengan tindakakanku itu, tapi kedua kakakku sering memanggilku “Katro” gara-gara itu. Hahaha…
Seingatku, di masa kecil, Papa belum sempat punya rumah sendiri. Kami tinggal ramai-ramai dengan saudara yang lain di rumah di kawasan Kebayoran Baru (Jakarta Selatan), tepatnya di Jalan Mendawai 1 N0 92. Pokoknya rumah itu ditempati banyak orang. Di lantai bawah ada butiknya Om Adjie (desainer Adjie Notonegoro). Di lantai atas ada para penjahit yang bekerja untuk Om Adjie. Lalu, masih di rumah itu, keluarga besar kami juga membuka restoran. Wah, bisa dibayangkan seru dan ramianya rumah itu! Seperti kebanyakan etnis keturunan Tionghoa, tempat tinggal kami memang menjadi satu dengan tempat usaha. Istilahnya, rumah toko. Jadi, sejak kecil aku memang sudah terbiasa melihat kehidupan berdagang atau berbisnis. Makanya tak heran jika aku kini senang berbisnis, bukan bekerja kantoran.
Selain berumah di Jakarta, keluargaku juga punya rumah di kawasan Puncak, Jawa Barat. Nenekku yang menetap di sana. Sehingga kami sering bolak-balik Jakarta-Puncak. Oh ya, dalam setiap aktivitasku di masa kecil itu, aku selalu ditemani oleh susterku, namanya Ci Sin. Aku ingat susterku itu pernah merekam di video acara drama Ande-Ande Lumut di TVRI. Sebab aku kecil suka banget dengan cerita Ande-Ande Lumut. Susterku sering memutarkan video itu untukku berulang-ulang. Kalau enggak salah, rekaman itu masih ada. Soal permainan di masa kecil, aku tak suka mainan videogame atau robot-robotan. Aku lebih suka mainan yang langsung bisa diperagakan, separti skateboard, sepatu roda dan berenang.
Ada satu boneka yang menjadi teman mainku, yakni sepasang boneka monyet. Aku sudah lupa namanya. Bersama boneka itu aku sering berkhayal. Pernah aku berkhayal boneka itu sakit, lalu aku beri balsam dan ramuan obat lainnya. Pokoknya kasihan deh tuh boneka, sampai akhirnya hancur. Selain permainan itu, aku juga suka menari. Kadang aku menari di depan kakekku yang sedang mendengarkan gending jawa. Wah, kakeku senang sekali melihat aku menari. Nah, jika ada orang yang mengatakan Ivan Gunawan kemayu, aku bisa mengatakan memang sudah dari sananya. Bawaan badanku sudah seperti ini adanya. Itu hanya kemasannya saja, jiwaku tetap lelaki sehat, lho.
Sempat Malas Sekolah
Saat memasuki usia sekolah, TK dan SD, aku bersekolah di Singapura. Karena Papaku yang diplomat berdinas di sana. Negara itu tempat dinas pertama Papa. Kami tinggal di sebuah apartemen yang penghuninya banyak dari Indonesia. Di sana pun, aku bersekolah Indonesia yang ada di Hongkong. Jadi soal bahasa enggak terlalu banyak masalah. Selain itu, aku termasuk orang yang mudah beradaptasi dengan suatu lingkungan.
Tapi ada juga yang membuatku sedih saat harus pindah ke Hongkong, sebab susterku tak diajak serta. Padahal, Ci Sin yang sering menemaniku jalan-jalan di taman atau menonton televisi. Salah satu teman dekatku di Hongkong bernama Prita. Dia tetangga kami di apartemen itu. Kedekatan aku dengan Prita karena aku bisa dengan mudahnya meminjam mainan boneka Barbie miliknya. Aku menyukai Barbie karena baju dan penampilanya. Barbie milik Prita itu sering jadi sasaranku untuk bereksperimen. Aku acak-acak rambut dan bajunya. Terkadang rambutnya aku gunting-gunting atau dicelupkan ke air. Wah seru banget, meski terkadang Prita enggak suka. Sementara untuk urusan sekolah aku malas belajar. Seingatku, pelajaran yang nyantol ke otak hanya pelajaran agama. Itu pun karena aku sering dihukum guru agama lantaran susah menghafalkan ayat-ayat Al Quran. Jadinya, aku mati-matian menghapal ayat-ayat itu, walaupun lama.
Di kelas 3 SD aku kembali ke Jakarta, tapi sifat malasku tak berubah. Sehingga aku sempat tidak naik kelas. Selain itu aku dianggap stres dengan sistem pendidikan di Jakarta. Oleh Papa dan Mama aku akhirnya diikutkan berbagai les. Setiap pulang sekolah, aku harus berangkat lagi untuk ikut les. Capek memang, tapi hasilnya aku tidak mengecewakan orangtua. Lambat laun aku bisa mengejar pelajaran di sekolah.
Selain les aku juga aktif di pelajaran ekstrakulikuler drumband. Aku sempat menjadi mayoretnya, lho. Suatu ketika, aku terkagum-kagum dengan alat musik baru, yakni terompet. Aku suka memainkanya. Saking bersemangatnya bibirku bengkak-bengkak. Di rumah, Mama bertanya. Aku bilang habis meniup terompet. Akibatnya aku disuruh berhenti mengikuti aktivitas tersebut.
Sebagai pelarian aku ikut kegiatan bola voli. Bersama timku, aku sering menjadi juara pertama. Tubuhku yang tinggi besar memang memberikan keuntungan buat timku. Aku sering memberikan bola-bola yang mematikan buat lawan. Di bidang seni aku sering mengikuti lomba-lomba modeling untuk anak-anak. Berjalan di catwalk, di mal-mal sering aku lakukan. Bahkan, aku sempat menjadi model iklan minuman.
Hidup Sendiri
Di tahun 1993 Papa berdinas di Kiev, Ukraina. Saat itu aku sudah lulus SD. Nah, lantaran di Kiev tak ada sekolah Indonesia, aku akhirnya disekolahkan di sekolah Indonesia di Moskow, Rusia. Jarak Kiev-Moskow cukup jauh, seperti Jakarta-Yogyakarta. Untuk itu aku menyewa apartemen sendiri. Walaupun begitu orantuaku tak terlalu khawatir, sebab kepela sekolahku tinggal di apartemen yang sama. Jadi dia bisa mengawasiku.
Hidup tanpa orangtua membuat aku lebih mandiri. Ngurus apa-apa ya sendiri. Mengelola keuangan pun sendiri. Cukup atau tidak cukup, aku hanya diberi oleh Papa uang saku 15 dolar AS per pekan. Uang itu memang hanya untuk jajan dan ongkos bersekolah. Kalau untuk makan, aku sudah dititipkan oleh Papa dan Mama lewat kepala sekolah. Yah, di sanalah aku mendapat pendewasaan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar