Ivan Gunawan
Keberhasilan
desainer dan penghibur ini sedikit banyak ditempa pengalaman hidupnya
di luar negeri. Berikut perjalanan hidup Ivan Gunawan hingga bisa
seperti sekarang ini. Ivan Gunawan lahir di penghujung tahun, tepatnya
di Jakarta pada 31 Desember 1981. Unik ya, karena di tanggal itu orang
sedang ramai-ramainya menunggu pergantian tahun. Ivan Gunawan
(selanjutnya ditulis aku) adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Tak
hanya aku, kedua kakakku, Eman Sadiani dan Indra Gunawan memang
ketururunan bongsor, montok-montok. Penyebabnya sudah jelas, karena
kedua orangtuaku, Bambang Cahyo Gunawan dan Erna Gunawan berperawakan
tinggi besar. Oleh orangtuaku aku diberi nama lengkap Ivan Gunawan
Putra. Akan tetapi, entah kenapa, sejak kecil aku enggak suka ada Putra
di nama panjangku. Aku merasa cukup dipanggil Ivan Gunawan. Maka dari
itu, untuk urusan surat-surat penting hingga KTP, aku enggak pakai tuh,
kata Putra. Orangtuaku sih, enggak marah dengan tindakakanku itu, tapi
kedua kakakku sering memanggilku “Katro” gara-gara itu. Hahaha…
Seingatku, di masa kecil, Papa belum
sempat punya rumah sendiri. Kami tinggal ramai-ramai dengan saudara yang
lain di rumah di kawasan Kebayoran Baru (Jakarta Selatan), tepatnya di
Jalan Mendawai 1 N0 92. Pokoknya rumah itu ditempati banyak orang. Di
lantai bawah ada butiknya Om Adjie (desainer Adjie Notonegoro). Di
lantai atas ada para penjahit yang bekerja untuk Om Adjie. Lalu, masih
di rumah itu, keluarga besar kami juga membuka restoran. Wah, bisa
dibayangkan seru dan ramianya rumah itu! Seperti kebanyakan etnis
keturunan Tionghoa, tempat tinggal kami memang menjadi satu dengan
tempat usaha. Istilahnya, rumah toko. Jadi, sejak kecil aku memang sudah
terbiasa melihat kehidupan berdagang atau berbisnis. Makanya tak heran
jika aku kini senang berbisnis, bukan bekerja kantoran.
Selain berumah di Jakarta, keluargaku
juga punya rumah di kawasan Puncak, Jawa Barat. Nenekku yang menetap di
sana. Sehingga kami sering bolak-balik Jakarta-Puncak. Oh ya, dalam
setiap aktivitasku di masa kecil itu, aku selalu ditemani oleh susterku,
namanya Ci Sin. Aku ingat susterku itu pernah merekam di video acara
drama Ande-Ande Lumut di TVRI. Sebab aku kecil suka banget dengan cerita
Ande-Ande Lumut. Susterku sering memutarkan video itu untukku
berulang-ulang. Kalau enggak salah, rekaman itu masih ada. Soal
permainan di masa kecil, aku tak suka mainan videogame atau
robot-robotan. Aku lebih suka mainan yang langsung bisa diperagakan,
separti skateboard, sepatu roda dan berenang.
Ada satu boneka yang menjadi teman
mainku, yakni sepasang boneka monyet. Aku sudah lupa namanya. Bersama
boneka itu aku sering berkhayal. Pernah aku berkhayal boneka itu sakit,
lalu aku beri balsam dan ramuan obat lainnya. Pokoknya kasihan deh tuh
boneka, sampai akhirnya hancur. Selain permainan itu, aku juga suka
menari. Kadang aku menari di depan kakekku yang sedang mendengarkan
gending jawa. Wah, kakeku senang sekali melihat aku menari. Nah, jika
ada orang yang mengatakan Ivan Gunawan kemayu, aku bisa mengatakan
memang sudah dari sananya. Bawaan badanku sudah seperti ini adanya. Itu
hanya kemasannya saja, jiwaku tetap lelaki sehat, lho.
Sempat Malas Sekolah
Saat memasuki usia sekolah, TK dan SD, aku bersekolah di Singapura. Karena Papaku yang diplomat berdinas di sana. Negara itu tempat dinas pertama Papa. Kami tinggal di sebuah apartemen yang penghuninya banyak dari Indonesia. Di sana pun, aku bersekolah Indonesia yang ada di Hongkong. Jadi soal bahasa enggak terlalu banyak masalah. Selain itu, aku termasuk orang yang mudah beradaptasi dengan suatu lingkungan.
Saat memasuki usia sekolah, TK dan SD, aku bersekolah di Singapura. Karena Papaku yang diplomat berdinas di sana. Negara itu tempat dinas pertama Papa. Kami tinggal di sebuah apartemen yang penghuninya banyak dari Indonesia. Di sana pun, aku bersekolah Indonesia yang ada di Hongkong. Jadi soal bahasa enggak terlalu banyak masalah. Selain itu, aku termasuk orang yang mudah beradaptasi dengan suatu lingkungan.
Tapi ada juga yang membuatku sedih saat
harus pindah ke Hongkong, sebab susterku tak diajak serta. Padahal, Ci
Sin yang sering menemaniku jalan-jalan di taman atau menonton televisi.
Salah satu teman dekatku di Hongkong bernama Prita. Dia tetangga kami di
apartemen itu. Kedekatan aku dengan Prita karena aku bisa dengan
mudahnya meminjam mainan boneka Barbie miliknya. Aku menyukai Barbie
karena baju dan penampilanya. Barbie milik Prita itu sering jadi
sasaranku untuk bereksperimen. Aku acak-acak rambut dan bajunya.
Terkadang rambutnya aku gunting-gunting atau dicelupkan ke air. Wah seru
banget, meski terkadang Prita enggak suka. Sementara untuk urusan
sekolah aku malas belajar. Seingatku, pelajaran yang nyantol ke otak
hanya pelajaran agama. Itu pun karena aku sering dihukum guru agama
lantaran susah menghafalkan ayat-ayat Al Quran. Jadinya, aku mati-matian
menghapal ayat-ayat itu, walaupun lama.
Di kelas 3 SD aku kembali ke Jakarta,
tapi sifat malasku tak berubah. Sehingga aku sempat tidak naik kelas.
Selain itu aku dianggap stres dengan sistem pendidikan di Jakarta. Oleh
Papa dan Mama aku akhirnya diikutkan berbagai les. Setiap pulang
sekolah, aku harus berangkat lagi untuk ikut les. Capek memang, tapi
hasilnya aku tidak mengecewakan orangtua. Lambat laun aku bisa mengejar
pelajaran di sekolah.
Selain les aku juga aktif di pelajaran
ekstrakulikuler drumband. Aku sempat menjadi mayoretnya, lho. Suatu
ketika, aku terkagum-kagum dengan alat musik baru, yakni terompet. Aku
suka memainkanya. Saking bersemangatnya bibirku bengkak-bengkak. Di
rumah, Mama bertanya. Aku bilang habis meniup terompet. Akibatnya aku
disuruh berhenti mengikuti aktivitas tersebut.
Sebagai pelarian aku ikut kegiatan bola
voli. Bersama timku, aku sering menjadi juara pertama. Tubuhku yang
tinggi besar memang memberikan keuntungan buat timku. Aku sering
memberikan bola-bola yang mematikan buat lawan. Di bidang seni aku
sering mengikuti lomba-lomba modeling untuk anak-anak. Berjalan di
catwalk, di mal-mal sering aku lakukan. Bahkan, aku sempat menjadi model
iklan minuman.
Hidup Sendiri
Di tahun 1993 Papa berdinas di Kiev, Ukraina. Saat itu aku sudah lulus SD. Nah, lantaran di Kiev tak ada sekolah Indonesia, aku akhirnya disekolahkan di sekolah Indonesia di Moskow, Rusia. Jarak Kiev-Moskow cukup jauh, seperti Jakarta-Yogyakarta. Untuk itu aku menyewa apartemen sendiri. Walaupun begitu orantuaku tak terlalu khawatir, sebab kepela sekolahku tinggal di apartemen yang sama. Jadi dia bisa mengawasiku.
Di tahun 1993 Papa berdinas di Kiev, Ukraina. Saat itu aku sudah lulus SD. Nah, lantaran di Kiev tak ada sekolah Indonesia, aku akhirnya disekolahkan di sekolah Indonesia di Moskow, Rusia. Jarak Kiev-Moskow cukup jauh, seperti Jakarta-Yogyakarta. Untuk itu aku menyewa apartemen sendiri. Walaupun begitu orantuaku tak terlalu khawatir, sebab kepela sekolahku tinggal di apartemen yang sama. Jadi dia bisa mengawasiku.
Hidup tanpa orangtua membuat aku lebih
mandiri. Ngurus apa-apa ya sendiri. Mengelola keuangan pun sendiri.
Cukup atau tidak cukup, aku hanya diberi oleh Papa uang saku 15 dolar AS
per pekan. Uang itu memang hanya untuk jajan dan ongkos bersekolah.
Kalau untuk makan, aku sudah dititipkan oleh Papa dan Mama lewat kepala
sekolah. Yah, di sanalah aku mendapat pendewasaan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar